Al-Qur’ān (ejaan
KBBI: Alquran, Arab: القرآن)
adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya
bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui
perantaraan Malaikat Jibril, dan sebagai wahyu pertama yang diterima
oleh Nabi Muhammad adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat
Al-'Alaq ayat 1-5.[1]
Etimologi
Ditinjau
dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti
"bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata
Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata
kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat
juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan
18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya
mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada
lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah
membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
Terminologi
Sebuah
sampul dari mushaf Al-Qur'an.
Dr.
Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam
Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir,
membacanya termasuk ibadah”.
Adapun
Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an
adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat
Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan
kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan
ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan
definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an
seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi
Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi
Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits
Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Nama-nama lain Al-Qur'an
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Nama lain Al-Qur'an
Dalam
Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang
digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama
tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
v Al-Kitab
(Buku)[2][3]
v Al-Furqan
(Pembeda benar salah)[4]
v Adz-Dzikr
(Pemberi peringatan)[5]
v Al-Mau'idhah
(Pelajaran/nasihat)[6]
v Al-Hukm
(Peraturan/hukum)[7]
v Al-Hikmah
(Kebijaksanaan)[8]
v Asy-Syifa'
(Obat/penyembuh)[6][9]
v Al-Huda
(Petunjuk)[6][10][11][12]
v At-Tanzil
(Yang diturunkan)[13]
v Ar-Rahmat
(Karunia)[10]
v Ar-Ruh
(Ruh)[14]
v Al-Bayan
(Penerang)[15]
v Al-Kalam
(Ucapan/firman)[16]
v Al-Busyra
(Kabar gembira)[17]
v An-Nur
(Cahaya)[18]
v Al-Basha'ir
(Pedoman)[19]
v Al-Balagh
(Penyampaian/kabar)[20]
v Al-Qaul
(Perkataan/ucapan)[21]
Struktur dan pembagian Al-Qur'an
Al-Qur'an
yang sedang terbuka.
Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an
terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat) dan
6666 ayat. Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat
terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek
hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr.
Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku'
yang membahas tema atau topik tertentu.
Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan
menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah)
dan Madaniyah (suratMadinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan
waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum
Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah
sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Surat
yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut
prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia.
Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya suratnya panjang-panjang,
menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan
atau seseorang dengan lainnya (syari'ah). Pembagian berdasar fase sebelum dan
sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di
Mekkah.[butuh rujukan]
Juz dan manzil
Dalam
skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang
sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka
yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian
lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian
bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki
hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
Menurut ukuran surat
Kemudian
dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi
menjadi empat bagian, yaitu:
As
Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali
Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
Al
Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan
sebagainya
Al
Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan
sebagainya
Al
Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan
sebagainya.
Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
Manuskrip
dari Al-Andalus abad ke-12
Al-Qur'an
memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil,
objektif dan tidak memihak[22]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya
mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika
penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
Penurunan
Al-Qur'an
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Periode penurunan Al-Qur'an
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Asbabun Nuzul
Al-Qur'an
tidak turun sekaligus, ayat-ayat al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama
22 tahun 2 bulan 22 hari. Para ulama membagi masa turunnya ini dibagi menjadi 2
periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode
Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan
surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan
periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung
selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Ilmu Al-Qur'an yang membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu
atau beberapa ayat al-Qur'an diturunkan disebut Asbabun Nuzul (Sebab-sebab
Turunnya (suatu ayat).
Penulisan
Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan
(pencatatan dalam bentuk teks) ayat-ayat al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman
Nabi Muhammad. Kemudian transformasinya menjadi teks yang sudah dibundel
menjadi satu seperti yang dijumpai saat ini, telah dilakukan pada zaman khalifah Utsman
bin Affan.
Masa Nabi Muhammad
Pada
masa ketika Nabi Muhammad masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk
untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah
bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap
menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang
digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit
atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu
banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah
wahyu diturunkan.
Masa Khulafaur Rasyidin
1.
Pemerintahan Abu Bakar
Pada
masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang
yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya
beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin
Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas
meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat
itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid
bin Tsabit sebagai koordinator pelaksanaan tugas tersebut. Setelah
pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf,
hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut
hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah
penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafshah yang
juga istri Nabi Muhammad.
2.
Pemerintahan Utsman bin Affan
Pada
masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman
dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya
perbedaan dialek(lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk
membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang
ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang
kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan
hingga saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang
berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan
(dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya
perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan
Al-Qur'an.
Mengutip
hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad
yang shahih:
“Suwaid
bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang
Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al
Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu
tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan
bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu
kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat
agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan
perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik."
Menurut
Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan
ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para
sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk
meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin
Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin
Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar
menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan
ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al
Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu
ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah
(mushaf al-Imam).
3.
Al Qur'an Edisi Kairo
Naskah
kuno Al-Qur'an tertua yang masih ada di dunia sampai dengan saat ini, berumur
kurang lebih 100 (seratus) tahun setelah nabi Muhammad meninggal.[23] Upaya
untuk menstandarisasi Al-Qur'an dilakukan di Kairo Mesir pada tahun 1923 sampai
1924. Para pakar muslim berkumpul di Kairo, Mesir dan memutuskan untuk
menuliskan edisi standar Al-Qur'an mengenai penomoran surah dan ayat-ayat
Al-Qur'an, dengan mendasarkan pada tradisi lisan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengkoreksi semua perbedaan tulisan dan penomoran dari Al-Qur'an yang beraneka
ragam.[24] Al-Qur'an edisi Kairo tidak ditulis berdasarkan naskah kuno
manapun, namun sangat terkenal dan disebarluaskan dengan bantuan dari
pemerintah Arab Saudi.
4.
Upaya penerjemahan dan
penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya
untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses
penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam
berbagai bahasa. Namun hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan
bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa
Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan
Al-Qur'an itu sendiri.
5.
Terjemahan
Terjemahan
Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang
tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal
tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an
menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang
bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk
arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Terjemahan
dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
Al-Qur'an
dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi
revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
Terjemah
Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
v An-Nur,
oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
v Al-Furqan,
oleh A. Hassan guru Persatuan Islam
v Al-Qur'anu'l-Karim
Bacaan Mulia, oleh Hans Bague Jassin
Terjemahan
dalam bahasa Inggris antara lain:
v The
Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
v The
Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
Terjemahan
dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
v Qur'an
Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
v Qur'an
Suadawiah (bahasa Sunda)
v Qur'an
bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
v Al-Ibriz
(bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
v Al-Qur'an
Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
v Al-Amin
(bahasa Sunda)
Terjemahan
Al-Qur'an dalam bahasa Bugis (huruf lontara), oleh KH Abdul Muin Yusuf
(Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Sidrap Sulsel)
6.
Tafsir
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Tafsir Al-Qur'an
Upaya
penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat
itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan
atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini
usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan
(metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik,
hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat
tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan
corak ilmiah.
7.
Adab terhadap Al-Qur'an
Ada
dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang
junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika
seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an
sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk
menyentuh Al-Qur'an, karena tidak ada dalil yang menguatkannya.[25]
Pendapat
pertama
Sebelum
menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan
dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan
interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya
antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat
mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)
Penghormatan
terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan
bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja
terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu
yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk
mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam
waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
Pendapat
kedua
Pendapat
kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah:
"Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana
ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah
disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan
lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di
tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang
Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.
Pendapat
kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang
firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh
Al-Qur’an kecuali mereka yang suci (bersih), yakni dengan
bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek).
Kenyataannya Allah berfirman: "Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an)
kecuali mereka yang telah disucikan", yakni dengan
bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
“Tidak
ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”[26] Yang dimaksud
oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali
orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda
Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”[27]
8.
Hubungan dengan kitab-kitab
lain
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Hubungan Al-Qur'an dengan kitab lain
Berkaitan
dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum
Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran
Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap
kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi
doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab
tersebut:
Bahwa
Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab
tersebut. QS(2:4)
Bahwa
Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi
kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
Bahwa
Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara
ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
Bahwa
Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai
kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai
kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting
berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik
oleh Yahudi dan Kristen.
The Casino Site - Lucky Club Live
BalasHapusLucky Club luckyclub Live is a top rated live casino site which offers great bonuses, promotions and promotions. We are very pleased to announce that our License: Malta Gaming Authority; UKGC; Jurisdiction: UK Gambling Commission